An Update
Hai.
It’s been a year.
OK. First. Rasanya tak perlu saya jelaskan panjang lebar: I am bad at writing. Tahun kemarin saya ada niatan untuk nulis lagi, tapi nyatanya tak ada tulisan tambahan. Jadi, sepertinya harus saya katakan di sini: saya akan nulis di sini saat saya memang mau nulis. Tak ada tulisan kalau memang sedang tak ingin nulis. Dan tidak akan ada lanjutan dari tulisan-tulisan sebelumnya. Saya sudah terlalu malas.
Lalu kenapa sekarang mencoba nulis lagi? Well, you will know it later.
Seperti yang tertera di judul, here’s the update:
Sejak September 2019, saya kuliah di Taiwan. Seperti yang Anda semua tahu, di sini juga ramai dengan kasus COVID-19, meskipun jumlah yang positif terinfeksi (sampai saat tulisan ini dikerjakan) ada 32 orang dan 1 orang meninggal. Lebih rendah dari negara-negara tetangga, dan harapannya tetap seperti ini (dan berkurang, tentunya, secara global). Penyebaran virus ini membuat pemerintah Taiwan menunda awal masuk sekolah dan kuliah secara nasional. Awalnya, kebanyakan sekolah dan kampus di sini mulai semester baru pertengahan Februari kemarin setelah libur imlek, tapi diundur 2 minggu sampai 2 Maret besok.
Saat ini, pihak kampus sedang sibuk mempersiapkan diri untuk memulai semester baru. Dengan kewaspadaan akan penularan COVID-19 tentunya. Mereka sudah mempersiapkan tempat karantina, membuat kebijakan satu pintu masuk-keluar di beberapa gedung, menyiapkan temperature gun, dll. Awal masuk kuliah, kran di toilet dekat lab saya masih otomatis. Sebelum libur imlek kemarin, kran otomatis tersebut diganti dengan kran manual. Setelah kasus COVID-19 ini ramai, beberapa hari yang lalu kran manual tersebut diganti lagi dengan kran otomatis. Sebelumnya, setiap orang yang ingin masuk ke suatu gedung di luar jam kerja juga harus pakai ID card dan memasukkan password, tapi saat ini tidak perlu lagi memasukkan password untuk mengurangi kemungkinan penularan.
Setelah saya baca-baca, sepertinya virus ini lebih mungkin menular lewat sentuhan, bukan udara. Maksudnya, saat ada orang yang sudah terinfeksi (entah disadari ataupun tidak) menyentuh objek-objek umum (kran, tombol lift, gagang pintu, dll.), lalu ada orang yang belum terinfeksi menyentuh objek umum tersebut, maka besar kemungkinan ia juga akan terinfeksi. Apalagi kalau ia tidak sering cuci tangan dan sering menyentuh muka/mulut/hidung/mata. Makanya, sampai saat ini saya belum pernah memakai masker dan lebih sering cuci tangan. Meskipun begitu, saya sadar tak pakai masker ini agak sedikit ceroboh.
And here comes 2 Maret, saat kegiatan belajar-mengajar akan dimulai lagi secara nasional. Berkumpulnya banyak orang dalam satu ruangan ini menurutku punya potensi penularan yang cukup tinggi. Jumlah orang yang terinfeksi di Korea Selatan sebelumnya cukup sedikit, tapi saat ini naik drastis dan menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak nomor 2 setelah Tiongkok. Salah satu alasannya adalah penularan di dalam gereja yang tidak disadari oleh jemaatnya. Sebenarnya saya agak paranoia melihat perkuliahan di kelas dengan keadaan seperti saat ini. Kita tidak tahu apakah orang di sebelah kita sudah terinfeksi. Kita tidak tahu dari mana saja orang di sekitar kita dalam beberapa hari terakhir. Mungkin mereka 3 hari yang lalu mampir di restoran dan bertemu orang yang sudah terinfeksi secara tidak sadar. Barangkali mereka kemarin naik bus atau kereta bersama orang yang terinfeksi. Dan ini membawa saya ke kasus COVID-19 ke 32 di Taiwan, yang kebetulan adalah pekerja dari Indonesia. Setelah dinyatakan positif terinfeksi, rekam perjalanannya dalam beberapa hari terakhir diungkap. Di mana dia menginap? Bus, taksi, dan kereta mana saja yang ditumpangi? Stasiun dan terminal mana saja yang disinggahi? Ketemu siapa saja selama ini? Semua informasi tersebut digali dan hasilnya dipublikasikan ke masyarakat. Kalau ada yang pernah naik bus atau kereta yang sama, misalnya, bisa mengajukan diri untuk diperiksa. Besarnya kemungkinan penularan di keramaian ini juga membuat pemerintah di sini melarang kegiatan yang melibatkan banyak orang. Musholla di kampus ditutup untuk sementara untuk mengurangi potensi penularan.
Melihat perkuliahan senin besok saya merasa agak was-was. Kita tak tahu dan tak sadar kapan kita terinfeksi. Mungkin inilah mengapa akhir-akhir ini ada kluster-kluster penularan baru di Korea Selatan, Iran, Italia, dan Jepang. Orang-orang di sana tidak tahu dan tidak sadar sudah terinfeksi, sebelum akhirnya gejalanya muncul dan orang mulai sadar barangkali ada lebih banyak orang disekitarnya yang terinfeksi, dan terjadi ledakan jumlah korban. Well, apapun yang akan terjadi harus dihadapi. Saya juga ingin kuliah lagi setelah libur yang cukup lama. Kalaupun nanti saya terinfeksi, ya… saya hanya bisa berharap bisa sembuh.
Pesan saya untuk yang berada di Indonesia atau di mana saja Anda berada: Anda semua bertanggung jawab terhadap diri anda sendiri dan orang lain. Tidak adanya laporan penularan di Indonesia ini bagi saya too good to be true. Sering-sering cuci tangan, kurangi sentuh mulut+mata+hidung, kurangi sentuh benda yang banyak orang pakai (gagang pintu, tombol lift, kran, etc.), dan kalau bisa kurangi jabat tangan.
Cheers.
RM.