Masa Pra-Kuliah: SBMPTN

Tulisan ini adalah bagian kedua dari tulisan saya tentang masa-masa pra-kuliah, lanjutan dari bagian pertama ini. Saya anjurkan untuk membaca bagian pertama dulu sebelum membaca bagian ini agar lebih mudah mengikuti cerita.

Perasaan kecewa masih belum bisa hilang beberapa minggu setelah pengumuman SNMPTN. Beberapa kali saya mencoba membuka lagi halaman pengumuman SNMPTN untuk memastikan saya tidak salah baca (dan berharap barangkali hasilnya bisa berubah). Nyatanya, setiap saya buka, sama saja. Tidak ada perubahan. Saya tetap dinyatakan tidak lolos. Jujur saja, waktu itu saya iri dengan teman-teman saya yang cukup beruntung dengan mudahnya lolos SNMPTN. Saya tulis “cukup beruntung dengan mudahnya” karena memang SNMPTN itu menurut saya “untung-untungan” dan hanya perlu menunjukan hasil belajar dua tahun sebelumnya. Walaupun iri, bukan berarti saya menjadi benci atau tidak suka dengan teman-teman saya. Justru memacu agar saya jangan sampai kalah. Agar saya juga harus bisa lolos.

Setelah pengumuman hasil SNMPTN, dengan segala kekecewaan dan rasa iri, saya harus fokus dengan proses seleksi selanjutnya, SBMPTN. Oh iya, sebelumnya perlu saya tuliskan di sini bahwa saya adalah penerima bidikmisi. Jadi saat masa pendaftaran, baik itu SNMPTN atau SBMPTN, saya harus mengumpulkan semua berkas-berkas yang dibutuhkan untuk bidikmisi dan mengikuti proses pendaftaran yang agak berbeda. Pendaftaran SBMPTN untuk calon penerima bidikmisi mempunyai deadline yang lebih cepat. Di hari terakhir pendaftaran SBMPTN untuk calon penerima bidikmisi, saya hampir terlambat mendaftar karena tidak tahu hari itu hari terakhir. Untung ada teman saya yang memberitahu. Pilihan kampus dan prodi masih sama, Sistem Komputer UB, Sistem Komputer UNDIP, dan Teknik Elektro UNDIP.

Yang diujikan di SBMPTN saat itu adalah Tes Potensi Akademik (TPA), Tes Kemampuan Dasar Umum (TKDU, terdiri dari Matematika Dasar, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris), dan Tes Kemampuan Dasar SAINTEK (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi) atau SOSHUM (Sejarah, Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi). Ikut SBMPTN itu sama saja harus belajar lagi. Saya memang sudah punya rencana, kalau gagal di SNMPTN, saya harus cepat-cepat pinjam buku anak SMA IPA untuk dipelajari sebelum ikut SBMPTN. Kenapa? Karena mata pelajaran eksakta di SMK kurang mendalam dan lebih bersifat terapan serta sifat ujian SBMPTN sendiri yang soal-soalnya lebih cocok untuk anak SMA. Jadi, setelah dinyatakan tidak lolos, saya cepat-cepat meminjam buku-buku SMA IPA ke teman saya—sekaligus mantan (duh!)—namanya Puput. Dia anak IPA di SMA 1, dan sebelumnya sudah lolos SNMPTN di UNS, jadi tidak keberatan kalau buku-bukunya saya pinjam beberapa minggu. Buku dan materi IPA yang saya pinjam itu semua yang dia punya dari kelas 10 sampai 12. Saya ke rumahnya pakai motor untuk ambil buku-buku itu, dan jumlahnya pun cukup banyak. Tas gendong saya tidak muat. Buku dan materi yang belum masuk tas, saya masukkan ke kantong plastik ukuran besar, dan itu sangat penuh. Jadi, saya pulang dengan tas gendong plus kantong plastik besar penuh buku (buku tulis dan buku cetak) serta modul-modul fotokopi materi Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi dari kelas 10 sampai 12.

Saya hanya punya waktu kurang dari sebulan untuk mempelajari semua materi itu sebelum ujian SBMPTN. Hal yang hampir mustahil kalau saya harus menguasai semua materi. Jadi, saya buat prioritas belajar. Karena prodi tujuan saya Teknik, maka prioritas nomor satu Matematika dan Fisika. Kimia nomor dua, dan terakhir Biologi. Saya harus belajar lagi Trigonometri, Integral, dan Turunan (versi SMA, tentunya). Materi itu yang kurang saya kuasai (bahkan sampai sekarang). Dan juga saya baca dasar-dasar dari hukum Fisika (di SMK jarang sekali diberi penjelasan mendasar dari hukum-hukum Fisika). Pagi, siang, sore, dan malam hari saya sempatkan untuk belajar. Baca materi dulu lalu mengerjakan contoh soal. Saya juga minta fotokopi soal SBMPTN tahun sebelumnya agar sedikit ada gambaran soal yang nantinya diujikan. Persiapan untuk Potensi Akademik, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris cukup dengan memahami soal ujian SBMPTN tahun sebelumnya dan soal-soal Try Out atau UN. Singkatnya, dalam waktu kurang dari sebulan untuk persiapan belajar, pemahaman materi saya “agak” bertambah. Ada banyak hal baru yang saya dapat yang hanya ada di materi SMA.

Lokasi ujian SBMPTN saya saat itu di SMAN 4 Purwokerto, cukup jauh dari rumah saya di Purbalingga. Sehari sebelum pelaksanaan ujian, saya dan teman saya survei ke lokasi, mencari lokasi ruangan yang nantinya saya tempati.

Ujian SBMPTN di tahun saya dibuat dua hari. Hari pertama untuk TPA dan TKDU. Hari kedua untuk TKD SAINTEK atau SOSHUM. Hari pertama ujian, karena jarak yang cukup jauh dan memang tidak terbiasa pergi ke Purwokerto (apalagi sendirian), saya berangkat setengah enam pagi naik motor. Sampai di Purwokerto sekitar pukul enam seperempat, masih cukup sepi jadi bisa bebas pilih tempat parkir. Pada saatnya masuk ke ruangan, semua ditata mirip dengan UN, baik itu ruangannya atau suasananya. Jadi, yah, saya rasa tidak perlu gugup karena memang pernah merasakan UN. Singkatnya, hari pertama ujian saya cukup lancar. Saya kerjakan semua soal Potensi Akademik, karena katanya persentase penilaian terbesar dari SBMPTN ada di situ. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris cukup merepotkan karena ada banyak teks bacaan yang panjang. Dan Matematika Dasar masih lumayan bisa dikerjakan.

Hari kedua, saya berangkat setengah enam pagi juga. Cukup was-was dan gugup karena masih belum bisa menguasai semua materi. Lalu masuk ke kelas, duduk manis, dan diberi soal ujian SAINTEK. Saya coba buka per halamannya, lalu…“WHAT THE HELL!”, soalnya lebih susah dari yang saya perkirakan. Sedikit sekali soal yang bisa saya pahami (soalnya, ya, bukan jawabannya). Saya cukup down setelah melihat soalnya, merasa sia-sia karena bekal yang saya siapkan kurang dari sebulan hampir tidak ada artinya. Saya takut gagal lolos lagi hanya karena soal yang diluar perkiraan saya. Akhirnya saya mencoba menenangkan diri sendiri, lalu mencoba membaca soal berurutan satu per satu secara perlahan sambil memahaminya. Kalau belum bisa dipahami, saya lompat ke nomor selanjutnya. Begitu seterusnya, saya harus membolak-balik lembar soal sampai waktu habis hanya. Untungnya, beberapa soal memang masih bisa dipahami dan dikerjakan setelah berulang kali membaca soalnya, tapi tidak banyak. Sampai waktu habis, dari jumlah soal 60, saya hanya bisa mengerjakan kurang lebih seperempatnya (3 sampai 5 soal terjawab dari tiap soal mata pelajaran yang berjumlah 15). Begitu waktu selesai, saya langsung keluar ruangan, bertemu dengan beberapa teman saya yang kebetulan lokasi ujiannya sama, lalu membicarakan soal tadi yang bagi kami terlalu sulit sambil sedikit merenung bagaimana hasilnya nanti kalau soalnya saja seperti itu.

Saya tidak bisa bergantung kepada hasil SBMPTN, saya harus membuat rencana cadangan. Jadi, pulang dari Purwokerto, saya langsung ke sekolah untuk “nyari sinyal WiFi”. Di sana saya mencoba mencari seleksi apa saja atau kampus mana saja yang masih membuka pendaftaran. Dengan melihat bentuk soal SBMPTN yang seperti itu, waktu itu saya merasa agak kapok ikut seleksi masuk universitas. Jadi saya coba mencari alternatif di politeknik yang memang lebih cocok untuk anak SMK. Akhirnya, saya mendapati di sebuah artikel berita sebuah nama politeknik yang sebelumnya tidak pernah saya dengar, PENS.

Bersambung.