Masa Pra-Kuliah: SNMPTN
Mumpung belum lulus, saya kali ini akan menulis tentang masa-masa pra-kuliah, terutama tentang kejadian-kejadian antara masa pendaftaran SNMPTN sampai saya diterima di UB. Tulisan ini akan dibagi menjadi beberapa bagian, karena kalau dijadikan satu tulisan pastinya akan terlalu panjang. Jadi, langsung saya mulai saja.
Waktu itu saya masih kelas 12 di SMKN 1 Purbalingga jurusan Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ). Saya berpikiran walaupun saya anak SMK, saya harus lanjut kuliah. Saya merasa kurang cocok kalau selepas lulus nanti langsung kerja. Toh, orang tua saya juga menganjurkan untuk lanjut sekolah. Sebenarnya dari kecil saya ingin jadi arsitek, tapi kalau harus lanjut kuliah di arsitektur, rasanya itu terlalu jauh melenceng dari TKJ dan memang saya lebih suka komputer waktu itu (Tapi, sampai sekarang saya menganggap arsitek itu lebih keren dibanding pakar IT). Lagipula, saya tidak jago menggambar. Jadi, yah, diputuskan untuk ambil jurusan kuliah Teknik Komputer yang mirip dengan TKJ atau jurusan lain yang masih satu rumpun dengan TKJ.
Kampus tujuan awal waktu itu UGM dan UNDIP, yang tidak terlalu jauh dari Purbalingga. Saya lalu mencari kampus-kampus yang memiliki prodi Teknik Komputer atau yang serumpun. Saya mengunjungi situs-situs dari setiap kampus, melihat fakultas-fakultasnya, melihat program studi (prodi) yang ditawarkan, dan sebisa mungkin harus menemukan silabus atau kurikulum dari tiap prodi agar saya tahu apa saja yang akan diajarkan nantinya. Dari pencarian itu muncul tiga kampus, yaitu UI, UNDIP dan UB. Di UGM ternyata belum ada prodi Teknik Komputer (walaupun ada Ilmu Komputer dan Teknik Elektro), jadi UGM harus saya coret. Ibu saya waktu itu menyuruh saya untuk mencoba di UI, tapi saya tidak mau karena menurut saya itu terlalu “tinggi” dan pastinya susah untuk lolos. Saat itu saya sangat tertarik dengan UB, terutama karena kuota seleksinya cukup banyak dan letaknya di kota Malang. Di tahun 2012-2014, zamannya UB dipimpin Pak Yogi, bisa dibilang kampus ini sedang gencar-gencarnya membangun reputasi dan “promosi” ke calon mahasiswa. Jadi jangan kaget kalau jumlah peminatnya selalu banyak. Orang tua saya awalnya keberatan kalau nantinya kuliah di UB karena terlalu jauh. Tapi akhirnya juga disetujui. Pilihan pun mengerucut ke UB dan UNDIP, dan sewaktu pendaftaran SNMPTN saya sudah tidak bingung lagi karena sudah punya pilihan. UB pilihan satu, UNDIP pilihan dua. Saya memilih UNDIP sebenarnya lebih untuk berjaga-jaga saja dan untuk memenuhi aturan satu kampus dalam provinsi kalau memilih dua kampus di SNMPTN, selain karena di UNDIP memang memiliki prodi Sistem Komputer. Jadi, urutan pilihan prodi dan kampusnya adalah Sistem Komputer UB, Teknik Elektro UB, Sistem Komputer UNDIP, dan Teknik Elektro UNDIP.
Prodi Sistem Komputer UB (Sekarang berganti nama menjadi Teknik Komputer seusai aturan DIKTI) saat itu tergolong prodi baru, dan saya tahu seringkali prodi baru itu belum terlalu bagus. Tapi, bagi saya, tidak ada salahnya mencoba. Kalaupun bisa lolos di Sistem Komputer UB, paling tidak saya termasuk angkatan-angkatan awal di prodi itu (Saya angkatan ke-3). Perlu dicatat di sini juga, saat pendaftaran SNMPTN, mayoritas dari sekolah saya mendaftar di kampus sekitaran Jawa Tengah (UNY, UNS, UNSOED, dan kampus langganan sekolah saya, UNNES). Sedangkan yang mencoba di luar Jawa Tengah, terutama Jawa Timur, sangat sedikit. Jadi, saya sudah siap kalau nantinya saya harus kuliah sendirian tanpa ada teman dari satu sekolah.
Sebagai anak SMK, saya sadar peluang lolos SNMPTN waktu itu sangat kecil. Kampus yang saya pilih pun lebih memprioritaskan anak SMA. Ditambah lagi dengan belum adanya alumni dari sekolah saya yang lolos SNMPTN di UNDIP atau UB. Bahkan saya belum pernah mendengar ada satu orang pun alumni sekolah saya yang kuliah di UB. Perlu diketahui, alumni sekolah di suatu kampus “katanya” dapat menambah peluang untuk lolos ke kampus tersebut (Di SNMPTN tahun berikutnya terbukti ada tiga adik kelas dari sekolah saya yang lolos di fakultas saya). Jadi, saya semakin yakin bahwa peluang lolos itu sangat kecil dan saya merasa nantinya tidak akan lolos. Saya bukannya pesimis, tapi sekadar mencoba berpikir realistis. Dan memang itulah yang terjadi. Saya dinyatakan tidak lolos, baik di UB maupun UNDIP. Di satu sisi saya kecewa, di sisi lain saya cuma bisa bilang “Yah, mau bagaimana lagi”. Banyak teman saya yang tidak percaya kalau saya tidak lolos SNMPTN, seolah-olah saya orang yang selalu mujur dan seharusnya lolos. Jumlah anak yang lolos SNMPTN dari sekolah saya cukup banyak. Jumlah pastinya saya lupa, tapi sepertinya kisaran 40-60, dan pastinya mayoritas terkonsentrasi di UNNES. Beberapa teman TKJ saya juga cukup beruntung lolos di Jember, yang membuat saya semakin yakin kalau saya harus kuliah di Jawa Timur.
Bagi saya, SNMPTN — dan seleksi-seleksi lain dengan sistem yang sama — adalah seleksi “untung-untungan”. Maksud saya, keberuntungan bermain dominan dibandingkan faktor-faktor lain, terutama untuk anak SMK. Tidak ada yang bisa menjamin orang yang memiliki kemampuan akademik bagus bisa lolos. Sudah sering terjadi anak-anak dengan nilai rapor yang standar dan kemampuan akademik yang biasa saja bisa lolos, bahkan yang di bawah itu pun banyak kejadiannya. Sampai sekarang, saya pun belum tahu proses seleksi yang dilakukan atau kriteria apa saja yang menjadi patokan karena memang itu menjadi rahasia tiap kampus. Seringkali saya ditanyai oleh adik-adik kelas saya tentang tips atau kiat agar bisa lolos SNMPTN, dan saya hanya bisa kasih jawaban sekaligus saran “Jangan bergantung sama SNMPTN, langsung disiapkan aja SBMPTN”.
Lanjutan: