Purwokerto-Surabaya-Malang

Di tulisan ini saya akan sedikit berbagi pengalaman perjalanan saya dari Purwokerto ke Malang dengan kereta api di tanggal 1 Februari kemarin. Meskipun libur semester masih tersisa cukup lama, saya merasa harus balik ke Malang karena saya agak susah berpikir di rumah dan cukup bingung dengan apa yang harus saya kerjakan. Target proposal skripsi selesai di liburan ini rasanya susah terwujud kalau saya berlama-lama di rumah. Karena itulah saya harus cepat-cepat balik ke Malang.

Saya putuskan untuk perjalanan ke Malang kali ini pakai kereta api, karena selama ini perjalanan ke Malang selalu pakai bus dan belum pernah pakai kereta api. Tadinya saya ingin mencoba KA Bima atau Gajayana yang langsung ke Malang, tapi setelah dipikir lagi… Nope, terlalu mahal. Untuk harga tiket paling bawah saja Rp 435.000. Saya juga ingin mencoba lagi perjalanan via Semarang, tapi rasanya itu untuk lain kali saja soalnya bulan Desember kemarin sudah pernah. Dan akhirnya saya pilih kereta tujuan Surabaya Gubeng, lalu dilanjutkan dengan kereta Surabaya Gubeng-Malang. Agar sampai di Malang waktu pagi, saya pilih KA Gaya Baru Malam Selatan yang dijadwalkan berangkat dari Purwokerto pukul 16.20, yang dilanjutkan dengan KA Bima tujuan Malang yang berangkat pukul 06.20.

Berangkat dari rumah pukul 15.00 dan hujan mengguyur selama perjalanan saya dari rumah ke Stasiun Purwokerto. Tiba di stasiun pukul 15.40, mampir sebentar di minimarket untuk beli kopi dan jajanan, lalu harus menunggu KA Gaya Baru yang—sesuai dengan jadwal—akan datang pukul 16.20. Namun, kereta baru tiba di stasiun sekitar pukul 16.35 (atau mungkin malah lebih). Barangkali karena hujan yang semakin deras membuat kereta harus berjalan lambat. Entahlah.

Begitu kereta berhenti, saya langsung masuk ke kereta nomor 8 yang ternyata cukup ramai penumpang. Kebanyakan masih muda-muda, mungkin mahasiswa dan barangkali akan turun di Jogja (dan kebanyakan memang turun di Jogja). Saya cari kursi saya nomor 18A yang ada di dekat jendela, dan ternyata sudah ada seorang nenek, ibu, dan anaknya yang sedang tidur di bangku saya. Sebenarnya saya ingin sekali dan memang sudah berencana duduk dekat jendela agar bisa lihat perkembangan jalur double track, tapi yah, apa boleh buat saya harus mengalah. Toh, masih bisa lihat di lain waktu.

Perjalanan kali ini saya membawa buku The Geography of Genius karangan Eric Weiner yang bercerita tentang usaha penulis untuk mencari tahu kenapa di beberapa wilayah dunia tertentu (Athena, Hangzhou, Florence, Edinburgh, Kolkata, Wina, dan Silicon Valley) dan waktu tertentu terjadi apa yang ia sebut dengan “Ledakan kejeniusan”. Buku yang cukup menarik dengan gaya bahasa yang santai dan jenaka, dan tentunya bisa mengurangi kebosanan di dalam kereta yang hampir tidak bisa melihat apa-apa di luar sana karena hari sudah gelap. Dan tentunya saya mengobrol dengan nenek dan ibu di sebelah saya selain dari membaca buku.

Pukul 01.20, kereta tiba di Stasiun Surabaya Gubeng dan saya masih harus menunggu KA Bima sampai pukul 06.20 sebelum meneruskan perjalanan ke Malang. Ada hal yang diluar dugaan saya begitu sampai di Gubeng. Rencananya, saya akan menunggu sampai KA Bima datang di dalam stasiun, tapi begitu keluar dari kereta, saya lihat stasiun Gubeng Barat gelap dan dikunci. Ternyata ada jam tutupnya. Saya kira semua stasiun buka 24 jam, seperti yang saya rasakan di Stasiun Semarang Tawang kemarin. Akhirnya saya duduk terlantar dan menunggu di luar pintu Gubeng Barat, dan—seperti yang sudah pasti akan terjadi di Surabaya—diserang gerombolan nyamuk. Yah, karena tidak tahan, saya berpindah-pindah mencari tempat yang lebih sedikit nyamuknya. Tapi ke manapun pindah tetap saja banyak nyamuk menyerang. Akhirnya saya menyerah dan duduk di sambil melanjutkan baca buku, dengan serangan nyamuk yang bertubi-tubi, sampai pintu Gubeng Barat dibuka.

Untungnya, sekitar pukul 03.30, pintu Gubeng Barat dibuka dan saya langsung masuk. Di situlah saya baru ingat kalau stasiun Gubeng Barat dikhususkan untuk keberangkatan penumpang KA ekonomi, dan untuk penumpang KA Bisnis atau Eksekutif di Gubeng Timur. Ah… Bodohnya. Kenapa tidak dari awal turun dari Gaya Baru langsung ke Gubeng Timur yang pastinya tetap buka. Akhirnya saya pindah ke Gubeng Timur dengan memutar jalan lewat perlintasan di sebelah selatan stasiun, sekalian jalan-jalan. Dan sesuai dugaan saya, Gubeng Timur buka dan ada cukup banyak orang yang di ruang tunggu. Ah bodohnya, kenapa tidak sejak awal tadi langsung ke sini, pikirku, yang lebih nyaman dan tentunya tidak banyak nyamuk.

Sekitar pukul 05.40, KA Bima akhirnya masuk Stasiun Gubeng. Begitu diizinkan masuk ke kereta, saya langsung masuk ke kereta saya nomor 4 dan duduk kursi nomor 1A yang ada di dekat jendela. Mungkin ini untuk kedua kalinya saya naik KA eksekutif. Sebelumnya pernah juga naik KA Gajayana dari Blitar ke Purwokerto, tapi itu sudah bertahun-tahun lalu. Mungkin tahun 2004 atu 2005. Menurut saya KA Bima sudah sangat nyaman dengan rangkaian kereta K1 baru buatan PT. INKA. Ada satu yang bagi saya tidak enak dengan kereta kelas eksekutif ini, yaitu ada ruang yang cukup longgar yang memisahkan kursi dengan dinding kereta. Di kereta kelas ekonomi, kursi langsung “menempel” dengan dinding kereta dan tidak ada ruang kosong di antaranya, sehingga cukup enak kalau mau bersender ke dinding kereta. Ini yang di kereta kelas eksekutif tidak ada. Tapi bagi saya tidak masalah, paling tidak di jendela kereta ada sedikit ruang yang bisa dipakai untuk meletakkan tangan.

KA Bima berangkat pukul 06.20 tepat. Di perjalanan menuju Malang ini saya tidak terlalu tertarik untuk melihat keluar jendela, mungkin karena saya terlalu mengantuk setelah semalaman melek. Dan memang beberapa kali saya tertidur. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan selama perjalanan ke Malang ini. Yang bisa saya ceritakan di sini barangkali adalah saya duduk satu bangku dengan seorang ibu paruh baya dengan bawaan banyak yang mengerjakan suatu dokumen di netbooknya dan membawa kotak sarapan yang cukup unik, entah apa saja isinya tapi saya lihat ada banyak singkong rebus. Singkatnya, kereta sampai di Malang pukul 08.15. Saya langsung keluar kereta, keluar stasiun, dan langsung naik angkot menuju kontrakan saya.

Secara keseluruhan, perjalanan Purwokerto-Surabaya-Malang kemarin tidak terlalu enak bagi saya. Kursi pilihan ditempati orang lain, “terdampar” di depan stasiun, nyamuk, dan waktu tunggu yang lama. Barangkali di lain kesempatan saya akan mencoba jalur-jalur alternatif lain.

Tambahan:

Saya lupa untuk mencantumkan harga tiket kedua kereta di atas. Untuk KA Gaya Baru sebesar Rp 104.000 + biaya tambahan Rp 7.500 untuk relasi Purwokerto-Surabaya Gubeng, sedangkan KA Bima Rp 60.000 untuk relasi Surabaya Gubeng-Malang. Jadi, total yang harus saya bayar Rp 171.500.